LUMAJANG, inews Lumajang.id - Tradisi Halal Bi Halal telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Indonesia saat merayakan Idul Fitri.
Namun, jarang yang mengetahui asal usul dan makna mendalam di balik tradisi tersebut.
Dilansir dari nu.or.id, Ustadz Fathoni Ahmad, seorang pengajar di Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, menjelaskan bahwa sejarah Halal Bi Halal dimulai ketika para ulama pesantren turut berperan dalam mengatasi ancaman perpecahan dan disintegrasi bangsa Indonesia.
Pada masa itu, negara baru Indonesia dihadapkan pada berbagai konflik, termasuk pemberontakan yang dilancarkan oleh DI/TII dan PKI di Madiun pada tahun 1948.
Melihat kondisi tersebut, KH Abdul Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri NU, mengemukakan gagasan kepada Presiden Soekarno untuk mengadakan pertemuan silaturrahim yang diberi nama Halal Bi Halal.
Menurut KH Masdar Farid Mas’udi, Rais Syuriyah PBNU, KH Wahab Chasbullah mengusulkan konsep Halal Bi Halal sebagai upaya untuk menyatukan para tokoh politik yang terpecah belah karena saling menyalahkan.
Ide tersebut diterima oleh Presiden Soekarno, dan pada hari raya Idul Fitri tahun 1948, seluruh tokoh politik diundang untuk menghadiri acara Halal Bi Halal di Istana Negara.
Konsep Halal Bi Halal yang digagas oleh KH Wahab Chasbullah tidak hanya sekadar silaturrahim, tetapi juga merupakan upaya rekonsiliasi dan perdamaian di tengah konflik politik yang mengancam persatuan bangsa.
Tradisi Halal Bi Halal kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri di Indonesia, mengingatkan umat Islam akan pentingnya memaafkan dan berdamai setelah menjalani bulan Ramadan yang penuh berkah.
Meskipun istilah Halal Bi Halal tidak ditemukan dalam Alquran atau hadis, maknanya tetap mengakar dalam kebudayaan Indonesia sebagai simbol perdamaian, kesatuan, dan kemanusiaan.
Tradisi ini mengajarkan pentingnya memperbaiki hubungan yang retak, menjaga kerukunan, dan menyebarkan kebaikan dalam masyarakat.
Dengan demikian, Halal Bi Halal tidak hanya merupakan ritual keagamaan semata, tetapi juga mencerminkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Hal tersebut mengingatkan kita akan nilai-nilai kebersamaan dan kebaikan yang harus terus dijaga demi terwujudnya masyarakat yang damai dan harmonis.
Editor : Diva Zahra