Kopi Senduro, Warisan Lereng Semeru yang Kini Jadi Daya Tarik Wisata

LUMAJANG, iNewsLumajang.id – Desa Senduro di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, dikenal sebagai salah satu penghasil kopi unggulan di Jawa Timur. Selain menjadi jalur menuju Gunung Semeru, desa ini memiliki kebun-kebun kopi yang dikelola oleh warga setempat dan menghasilkan robusta serta arabika dengan cita rasa khas.
Kopi-kopi itu tumbuh subur di lereng curam sekitar Semeru. Jenis robusta dan arabika mendominasi, dengan karakter rasa yang kuat dan aroma khas. Kandungan tanah vulkanik yang kaya mineral diyakini menjadi salah satu faktor utama keunggulan cita rasa kopi Senduro.
Bagi masyarakat setempat, kopi bukan sekadar tanaman. Ia sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Sejak puluhan tahun lalu, warga menanam, memanen, dan mengolah kopi dengan cara tradisional. Semua dilakukan dengan pengetahuan turun-temurun, tanpa banyak menggunakan mesin modern.
Rohman, salah satu petani kopi di desa itu, telah menanam kopi sejak usia remaja. Kini di usianya yang ke-47, ia masih setia merawat kebun kopinya setiap pagi. Ia mengaku tetap memegang prinsip memetik kopi saat benar-benar matang atau dikenal dengan sebutan "petik merah".
“Kalau kopi dipetik saat merah sempurna, rasanya lebih enak dan aromanya lebih keluar,” ujarnya. Namun, ia mengeluhkan harga yang belum stabil. Saat ini, harga kopi robusta petik merah hanya sekitar Rp70.000 per kilogram, turun dari musim lalu yang sempat mencapai Rp85.000. Sedangkan robusta biasa yang tidak dipetik selektif hanya dihargai sekitar Rp60.000 per kilogram.
Menanggapi hal ini, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Lumajang, Mamik Woroarjiati, menjelaskan bahwa meski ada penurunan harga, kopi Senduro masih memiliki daya saing tinggi. Terutama arabika petik merah, yang dinilai pasar karena kualitas rasanya dan bisa mencapai harga Rp90.000 per kilogram.
“Kopi yang dipanen secara selektif punya nilai lebih. Pasar menghargai kualitas, terutama untuk segmen specialty,” katanya, Selasa (8/7/2025).
Meski begitu, tantangan lain terus muncul. Salah satunya adalah minimnya regenerasi petani. Banyak anak muda lebih memilih bekerja di kota. Namun tren kopi kekinian mulai membawa angin segar. Beberapa pemuda desa mulai melirik kembali kopi sebagai peluang usaha. Mereka mencoba membuat produk turunan seperti kopi kemasan, drip bag, hingga cold brew, yang dipasarkan lewat media sosial.
Melihat potensi itu, pemerintah desa bersama komunitas lokal mulai mengembangkan wisata edukasi kopi. Dalam kegiatan ini, wisatawan diajak merasakan langsung pengalaman bertani kopi—mulai dari memetik buah kopi, melihat proses pengolahan, hingga belajar menyeduh kopi. Semua dilakukan sambil menikmati suasana alam khas pegunungan.
Kini, Senduro tidak hanya menjual biji kopi, tapi juga menghadirkan pengalaman. Wisatawan bisa mengenal lebih dekat kehidupan petani, proses produksi kopi, dan keindahan alam sekitar. Ini menjadi cara baru untuk mengenalkan kopi lokal sekaligus mendukung perekonomian desa.
Bagi petani seperti Rohman, kopi bukan sekadar sumber penghasilan. Ia adalah warisan keluarga dan simbol kerja keras. Selama pagi masih dibuka dengan aroma kopi, semangat mereka akan tetap menyala. Dari lereng Semeru, kopi Senduro terus tumbuh, membawa nama Lumajang ke berbagai penjuru, dengan cara yang sederhana namun penuh makna.
Editor : Diva Zahra